Selasa, 26 Maret 2013

Ma' Nene'


Mayat berjalan di Tana Toraja

Menjadi sebuah mitos yang melegenda penuh dengan sejarah dikalangan suku Toraja yaitu Mayat Berjalan. Menyaksikan sebuah mitos tentang mayat berjalan sudah pernah dialami oleh nenek moyang kami pada zaman dahulu kala. Ini adalah sebuah tradisi yang merupakan bagian dari adat-istiadat suku Toraja. Pernahkah terlintas dibenak kita bahwa di Indonesia ada sebuah suku yang mempenyai tradisi mayat berjalan? Mungkin tidak, tetapi menjadi penting bagi kita, bahwa sebuah kebanggaan besar yang cukup begitu membuktikan dan meyakinkan Negara-negara lain bahwa memang Indonesia kaya akan budaya adat istiadat.Sebagai orang toraja asli saya begitu tertarik untuk mempublikasikan tentang budaya mayat berjalan ini. Mengapa? Tidak ada pernah terdengar bahwa ada suku di Indonesia apalagi di dunia yang mempunyai budaya mayat berjalan. Hanya satu-satunya suku yang mempunyai tradisi ini yaitu SUKU TORAJA.Pengalaman saya, ketika saya lagi makan malam di sebuah warteg, ada seorang bapak yang bertanya kepada saya bahwa benarkah di toraja ada mayat berjalan? Tentu saja saya jawab Ia, karena saya orang toraja asli dan mengetahui sebagian dari adat budaya toraja meskipun tidak semua. Berikut inilah saya akan menceritakan bagaimana MAYAT BERJALAN YANG ADA DI TANA TORAJA. 

Berdasarkan crita yang berkembang di masyarakat Toraja bahwa dahulu kala, tahun 1905 telah ditemukan di gua sebuah mayat manusia yang utuh yang tidak busuk sampai sekarang. Mayat ini tidak dibalsem dan tidak diberi ramuan apa pun seperti yang dilakukan orang mesir pada umumnya. Ajaibnya mayat ini masih bisa tetap utuh. Menurut Tampubolon di gua itu terdapat semacam zat yang bisa mengawetkannya. Selain tidak berbau busuk ada juga yang berjalan diatas kedua kakinya bagaikan orang yang tidak kekurangan suatu apa-apa. Kalau mau dicari perbedaannya ada, tetapi juga tidak begitu kentara. Konon menurut Tampubolon disebuah media dia mengatakan 
bahwa sang mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak. Dan dalam perjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu orang hidup yang mengawalnya, sampai ketujuan akhir yaitu rumahnya sendiri. Mengapa harus demikian? Karena pada zaman dahulu kala, orang-orang Toraja biasa menjelajahi daerahnya yang bergunung dan berjurang dengan hanya berjalan kaki tanpa mengenal pedati, delman, gerobak, atau yang semacamnya dengan itulah. Didalam perjalanannya itu kemungkinan ada yang sakit dan mati. Karena orang toraja sangat menghormati orang yang telah meninggal maka melalui sebuah cara diperintahkanlah mayat itu untuk berjalan sendiri pulang kerumahnya. Mungkin klu sekarang disebut dengan hipnotis tapi klu zaman dahulu itu menggunakan ilmu gaib (mungkin). Tetapi ada satu pantangan pada acara ini, yaitu selama mayat berjalan tidak boleh ada orang yang menyapa mayat tersebut apalagi disentuh. 

Disebuah blog seseorang yang berceritai masih melihat tradisi mayat berjalan ini disekitar tahun 1992 (aku baru lahir dong). Beliau menempuh pendidikan di kelas 3 sd. Dia bercerita seperti ini:“pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. seperti adat orang Toraja sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat penguburan (rambu solo’). saat itu setelah dimandikan mayat sang ibu diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan kedalam peti jenasah. pada malam ketiga seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti. saat itu saya duduk di teras rumah maklum anak-anak jadi suka mondar mandir. namun setelah rapat selesai (sekitar jam 10 malam), tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah dimana beberapa ibu-ibu berteriak -teriak. karena penasaran saya berusaha melongok ke dalam rumah dan astaga sang mayat berjalan keluar dari dalam kamar, kontan saja saya dan teman2 saya berteriak histeris dan berlari menuruni tangga. saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil histeris ketakutan. setelah itu saya langsung dibawa pulang kerumah oleh ayah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keesokan harinya kejadian tersebut rupanya cukup heboh diperbincangkan oleh warga dan informasi yang saya dengar bahwa Pongbarrak yang melakukan hal tersebut. konon dia iseng aja untuk membuat lelucon pada malam itu.”
Jika dilihat zaman sekarang, setelah tana toraja disentuh oleh agama, kejadian mayat berjalan sudah sangat jarang terjadi. Padahal ini adalah sebuah budaya yang begitu menakjubkan dan dapat dikembangkan sebagai bagian tradisi kita yang dapat kita kembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah.Aku sebenarnya begitu rindu melihat tradisi budaya ini, namun pemerintah tidak lagi memperhatikan budaya ini yang bisa dikatakan hampir hilang. Seharusnya pemerintah tana toraja harus mengembangkan budaya ini sebagai asset yang dapat menambah pendapatan daerah kita dan dapat membuat Tana Toraja lebih dikenal di mancanegara sana.

ini adalah beberapa foto keluarga yang melaksanakan tradisi budaya ma' nene' :


















sumber : http://dicahdwicahyono.blogspot.com/2011/03/mayat-berjalan-di-tana-toraja.html



Senin, 18 Maret 2013

Tempat-Tempat Wisata di Tanah Toraja


Ada banyak tempat parawisata di toraja tapi yang paling populer saat ini dan paling banyak di kunjungi oleh para wisatawan adalah sebagai berikut :


1. PALLAWA


Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan yang berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepao.



2. LONDA


Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Londa terletak de Desa Sendan Uai, Kecamatan Sanggalai, sekitar 5 Km ke arah selatan dari Rantepao, Tana Toraja.





3. KE'TE' KESU


Ke’te Kesu berarti pusat kegiatan, dimana terdapatnya perkampungan, tempat kerajinan ukiran, dan kuburan. Pusat kegiatannya adalah berupa deretan rumah adat yang disebut Tongkonan, yang merupakan obyek yang mempesona di desa ini. Selain Tongkonan, disini juga terdapat lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 Km dari tenggara Rantepao.




4. BATU TUMONGA


Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2 – 3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggai 1300 Meter dari permukaan laut.




5. LEMO


Lemo merupakan sebuah kuburan yang dibuat di bukit batu. Bukit ini dinamakan Lemo karena bentuknya bulat menyerupai buah jeruk (limau). Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 juta. Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo anda dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di sebelah utara Makale, Kabupaten Tana Toraja.


Sebenarnya masih banyak lagi tempat-tempat menarik yang dapat kita kunjungi di toraja tapi mohon maaf saya tidak menginformasikan sekarang mungkin di lain waktu.

Tapi jangan kawatir saya masih ada Bonus buat anda :


 Melihat Proses Pembuatan Kain Tenun Toraja di Sa’dan To Barana

Sebenarnya kalau kita ingin ke Batutumonga, kita bisa lebih dulu mengunjungi Kampung Sa’dan To Barana ini. Jadi, kita bisa menikmati beberapa hal dalam satu kali perjalanan.
Lagipula Kampung Sa’dan To Barana ini sangat menarik dikunjungi karena di tempat inilah proses pembuatan kain tenun Toraja yang asli dapat dilihat secara langsung. Proses pembuatan kain tenun Toraja di tempat ini pun masih menggunakan metode yang sangat tradisional. Lihat saja foto dibawah ini.

13562812571850971163

Foto Pengrajin Kain Tenun Toraja

Kain tenun Toraja sendiri memang sudah sangat jarang yang dibuat secara tradisional dan berkualitas baik. Karenanya tidak perlu heran, untuk memiliki tenun terbaik dari tempat ini, kita harus merogoh kocek yang lumayan banyak.
Tapi, kalau kita adalah seorang pecinta fashion etnik, tentu tidak akan merasa rugi bila membeli kain tenun klasik ini.





Rambu Solo


Rambu Solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.

Berikut beberapa foto upacara rambu solo':



SELAMATDATANG DIBLOG PANAS
KURRE SUMANGA' LAKO SIULU' SOLA NASANG